Langit siang itu tampak muram, awan hitam terdiam membatu memenuhi
angkasa, burung-burung yang biasanya terdengar riang bernyanyi kini
sepi seperti telah tenggelam dalam cengkraman kegelapan yang kian pekat
menyelimuti alam. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan yang
tiba-tiba saja menghiasi kesepian. Semua terasa mencekam, mencekam
seolah gerhana menjelang ataukah kiamat kan segera datang.
Pemuda itu kini duduk terdiam, matanya tajam namun penuh bayang-bayang kegelapan mengintai setiap yang tertangkap oleh pandangannya, tiada lagi mentari apalagi indahnya cahya rembulan malam pada kedua bola matanya. Tiada lagi nyanyian burung apalagi kisah tentang indahnya taman Al-Qur’an. Semua tinggal kenangan yang kini hanya menyisakan kegelapan. Siang itu pun berlalu dengan hampa tanpa cerita dan kenangan indah dimatanya seperti hari-hari yang t’lah lalu yang juga tak pernah sisakan apa-apa dalam hidupnya.
Senjapun datang, bayang-bayang kelam itu kini semakin menghitam diselimuti kegelapan malam yang segera datang. Dia masih saja tak beranjak dari tempatnya duduk seharian. Kini perlahan-lahan dia bangkit, tangannya menggapai sandaran yang terlihat kian usang. Lalu, kepalanya berputar-putar menyusuri lorong-lorong kegelapan yang hanya sisakan remang rembulan dibalik dedaunan yang juga terus terdiam, ada yang sedang dia cari di kegelapa namun semua bukanlah lembar-lembar ayat atau indahnya tafakur di padang cahya rembulan. Kumandang adzan dan panggilan al-Qur’an sudah lama tenggelam di keheningan rongga dadanya.
Dari balik semak yang sedikit bergoyang diterpa angin malam yang dingin menusuk terdengar bisikan pepohonan, bisikan yang bercerita tentang kisah sang pemuda, tentang langkah-langkah berat serta rintihan malam dan kesunyiannya. Kisah nyanyiannya yang tak pernah terdengar oleh siapapun dan hanya disaksikan oleh bisunya pepohonan malam.
Malam itu, disaksikan oleh keheningan malam pemuda itu kembali meradang dan mengerang kesakitan. Dia mengurai kisah tentang kepedihan hatinya yang tak pernah menghilang, tentang langkah-langkah kakinya yang tak juga terhenti pada tepian mimpi yang selalu panjang. Tentang tatapan matanya yang tak juga pernah terpejam dan berpaling dari kelamnya kegelapan, tentang alunan-alunan kengerian yang tak pernah beranjak dari telinganya.
Dengan suara lirih menahan rasa sakit yang kian menjadi, pemuda itupun bertutur sepi sesepi sepinya “AKU MENYESAL, AKU MENYESAL PERGI DARI ILLAHI”
Pemuda itu kini duduk terdiam, matanya tajam namun penuh bayang-bayang kegelapan mengintai setiap yang tertangkap oleh pandangannya, tiada lagi mentari apalagi indahnya cahya rembulan malam pada kedua bola matanya. Tiada lagi nyanyian burung apalagi kisah tentang indahnya taman Al-Qur’an. Semua tinggal kenangan yang kini hanya menyisakan kegelapan. Siang itu pun berlalu dengan hampa tanpa cerita dan kenangan indah dimatanya seperti hari-hari yang t’lah lalu yang juga tak pernah sisakan apa-apa dalam hidupnya.
Senjapun datang, bayang-bayang kelam itu kini semakin menghitam diselimuti kegelapan malam yang segera datang. Dia masih saja tak beranjak dari tempatnya duduk seharian. Kini perlahan-lahan dia bangkit, tangannya menggapai sandaran yang terlihat kian usang. Lalu, kepalanya berputar-putar menyusuri lorong-lorong kegelapan yang hanya sisakan remang rembulan dibalik dedaunan yang juga terus terdiam, ada yang sedang dia cari di kegelapa namun semua bukanlah lembar-lembar ayat atau indahnya tafakur di padang cahya rembulan. Kumandang adzan dan panggilan al-Qur’an sudah lama tenggelam di keheningan rongga dadanya.
Dari balik semak yang sedikit bergoyang diterpa angin malam yang dingin menusuk terdengar bisikan pepohonan, bisikan yang bercerita tentang kisah sang pemuda, tentang langkah-langkah berat serta rintihan malam dan kesunyiannya. Kisah nyanyiannya yang tak pernah terdengar oleh siapapun dan hanya disaksikan oleh bisunya pepohonan malam.
Malam itu, disaksikan oleh keheningan malam pemuda itu kembali meradang dan mengerang kesakitan. Dia mengurai kisah tentang kepedihan hatinya yang tak pernah menghilang, tentang langkah-langkah kakinya yang tak juga terhenti pada tepian mimpi yang selalu panjang. Tentang tatapan matanya yang tak juga pernah terpejam dan berpaling dari kelamnya kegelapan, tentang alunan-alunan kengerian yang tak pernah beranjak dari telinganya.
Dengan suara lirih menahan rasa sakit yang kian menjadi, pemuda itupun bertutur sepi sesepi sepinya “AKU MENYESAL, AKU MENYESAL PERGI DARI ILLAHI”
Ditulis pada 27 Mei 2009 pukul 16:29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar