Berikut ini fatwa
lengkap MUI tentang hukum dan pedoman muamalah melalui media sosial:
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
FATWA TENTANG HUKUM DAN PEDOMAN
BERMUAMALAH MELALUI MEDIA SOSIAL
Pertama: Ketentuan
Umum:
Dalam Fatwa ini,
yang dimaksud dengan:
1. Bermuamalah
adalah proses interaksi antarindividu atau kelompok yang terkait dengan hablun
minannas (hubungan antarsesama manusia) meliputi pembuatan (produksi),
penyebaran (distribusi), akses (konsumsi), serta penggunaan informasi dan
komunikasi.
2. Media sosial
adalah media elektronik, yang digunakan untuk berpartisipasi, berbagi, dan
menciptakan isi dalam bentuk blog, jejaring sosial, forum, dunia virtual, dan
bentuk lain.
3. Informasi
adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai,
makna, dan pesan, baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat,
didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai
dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik
ataupun nonelektronik.
4. Gibah adalah
penyampaian informasi faktual tentang seseorang atau kelompok yang tidak
disukainya.
5. Fitnah (buhtan)
adalah informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran yang
disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik,
merugikan kehormatan orang).
6. Namimah adalah
adu domba antara satu dengan yang lain dengan menceritakan perbuatan orang lain
yang berusaha menjelekkan yang lainnya kemudian berdampak pada saling membenci.
7. Ranah publik
adalah wilayah yang diketahui sebagai wilayah terbuka yang bersifat publik,
termasuk dalam media sosial seperti Twitter, Facebook, grup media sosial, dan
sejenisnya. Wadah grup diskusi di grup media sosial masuk kategori ranah
publik.
Kedua: Ketentuan Hukum
Kedua: Ketentuan Hukum
1. Dalam bermuamalah dengan sesama, baik di dalam
kehidupan riil maupun media sosial, setiap muslim wajib mendasarkan pada
keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan
(ukhuwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq), serta mengajak pada
kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (al-nahyu
‘an al-munkar).
2. Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial
wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan,
tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan.
b. Mempererat ukhuwah (persaudaraan), baik
ukhuwah Islamiyah (persaudaraan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan
kebangsaan), maupun ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan).
c. Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama,
antarumat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.
3. Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial
diharamkan untuk:
a. Melakukan gibah, fitnah, namimah, dan
penyebaran permusuhan.
b. Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan
permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan.
c. Menyebarkan hoax serta informasi bohong
meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih
hidup.
d. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan
segala hal yang terlarang secara syar’i.
e. Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai
tempat dan/atau waktunya.
4. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat
diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
5. Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat
diaksesnya konten/informasi tentang hoax, gibah, fitnah, namimah,
aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait
pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
6. Mencari-cari informasi tentang aib, gosip,
kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan
yang dibenarkan secara syar’i.
7. Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi
yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar,
membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan
kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram.
8. Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke
khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke
publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
9. Aktifitas buzzer di media sosial yang
menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, gibah, fitnah, namimah,
bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk
memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun nonekonomi, hukumnya haram. Demikian
juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang
memfasilitasinya.
Ketiga: Pedoman
Bermuamalah
A. PEDOMAN UMUM
1. Media sosial
dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalin silaturahmi, menyebarkan
informasi, dakwah, pendidikan, rekreasi, dan untuk kegiatan positif di bidang
agama, politik, ekonomi, dan sosial serta budaya.
2. Bermuamalah
melalui media sosial harus dilakukan tanpa melanggar ketentuan agama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Hal yang harus
diperhatikan dalam menyikapi konten/informasi di media sosial, antara lain:
a.
Konten/informasi yang berasal dari media sosial memiliki kemungkinan benar dan
salah.
b.
Konten/informasi yang baik belum tentu benar.
c.
Konten/informasi yang benar belum tentu bermanfaat.
d.
Konten/informasi yang bermanfaat belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah
publik.
e. Tidak semua
konten/informasi yang benar itu boleh dan pantas disebar ke ranah publik.
B. PEDOMAN
VERIFIKASI KONTEN/INFORMASI
1. Setiap orang
yang memperoleh konten/informasi melalui media sosial (baik yang positif maupun
negatif) tidak boleh langsung menyebarkannya sebelum diverifikasi dan dilakukan
proses tabayun serta dipastikan kemanfaatannya.
2. Proses tabayun
terhadap konten/informasi bisa dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
a. Dipastikan
aspek sumber informasi (sanad)-nya, yang meliputi kepribadian, reputasi,
kelayakan, dan keterpercayaannya.
b. Dipastikan
aspek kebenaran konten (matan)-nya, yang meliputi isi dan maksudnya.
c. Dipastikan
konteks tempat dan waktu serta latar belakang saat informasi tersebut
disampaikan.
3. Cara memastikan
kebenaran informasi antara lain dengan langkah:
a. Bertanya kepada
sumber informasi jika diketahui
b. Permintaan
klarifikasi kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kompetensi.
4. Upaya tabayun
dilakukan secara tertutup kepada pihak yang terkait, tidak dilakukan secara
terbuka di ranah publik (seperti melalui grup media sosial), yang bisa
menyebabkan konten/informasi yang belum jelas kebenarannya tersebut beredar
luar ke publik.
5.
Konten/informasi yang berisi pujian, sanjungan, dan/atau hal-hal positif
tentang seseorang atau kelompok belum tentu benar, karenanya juga harus
dilakukan tabayun.
C. PEDOMAN
PEMBUATAN KONTEN/INFORMASI
1. Pembuatan
konten/informasi yang akan disampaikan ke ranah publik harus berpedoman pada
hal-hal sebagai berikut:
a. Menggunakan
kalimat, grafis, gambar, suara dan/atau yang simpel, mudah dipahami, tidak
multitafsir, dan tidak menyakiti orang lain.
b.
Konten/informasi harus benar, sudah terverifikasi kebenarannya dengan merujuk
pada pedoman verifikasi informasi sebagaimana bagian A pedoman bermuamalah
dalam fatwa ini.
c. Konten yang
dibuat menyajikan informasi yang bermanfaat.
d.
Konten/informasi yang dibuat menjadi sarana amar makruf nahi mungkar dalam
pengertian yang luas.
e.
Konten/informasi yang dibuat berdampak baik bagi penerima dalam mewujudkan
kemaslahatan serta menghindarkan diri dari kemafsadatan.
f. Memilih diksi
yang tidak provokatif serta tidak membangkitkan kebencian dan permusuhan.
g. Kontennya tidak
berisi hoax, fitnah, gibah, namimah, bullying, gosip, ujaran kebencian, dan hal
lain yang terlarang, baik secara agama maupun ketentuan peraturan
perundang-undangan.
h. Kontennya tidak
menyebabkan dorongan untuk berbuat hal-hal yang terlarang secara syar’i,
seperti pornografi, visualisasi kekerasan yang terlarang, umpatan, dan
provokasi.
i. Kontennya tidak
berisi hal-hal pribadi yang tidak layak untuk disebarkan ke ranah publik.
2. Cara memastikan
kemanfaatan konten/informasi antara lain dengan jalan sebagai berikut:
a. Bisa mendorong
kepada kebaikan (al-birr) dan ketakwaan (al-taqwa).
b. Bisa mempererat
persaudaraan (ukhuwah) dan cinta kasih (mahabbah).
c. Bisa menambah
ilmu pengetahuan.
d. Bisa mendorong
untuk melakukan ajaran Islam dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
e. Tidak
melahirkan kebencian (al-baghdla’) dan permusuhan (al-‘adawah).
3. Setiap muslim
dilarang mencari-cari aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh
orang lain, baik individu maupun kelompok, kecuali untuk tujuan yang dibenarkan
secara syar’i seperti untuk penegakan hukum atau mendamaikan orang yang
bertikai (ishlah dzati al-bain).
4. Tidak boleh menjadikan
penyediaan konten/informasi yang berisi tentang hoax, aib, ujaran kebencian,
gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi atau kelompok sebagai profesi
untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun nonekonomi, seperti profesi
buzzer yang mencari keutungan dari kegiatan terlarang tersebut.
D. PEDOMAN
PENYEBARAN KONTEN/INFORMASI
1.
Konten/informasi yang akan disebarkan kepada khalayak umum harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a.
Konten/informasi tersebut benar, baik dari sisi isi, sumber, waktu dan tempat,
latar belakang serta konteks informasi disampaikan.
b. Bermanfaat,
baik bagi diri penyebar maupun bagi orang atau kelompok yang akan menerima
informasi tersebut.
c. Bersifat umum,
yaitu informasi tersebut cocok dan layak diketahui oleh masyarakat dari seluruh
lapisan sesuai dengan keragaman orang/khalayak yang akan menjadi target sebaran
informasi.
d. Tepat waktu dan
tempat (muqtadlal hal), yaitu informasi yang akan disebar harus sesuai dengan
waktu dan tempatnya karena informasi benar yang disampaikan pada waktu dan/atau
tempat yang berbeda bisa memiliki perbedaan makna.
e. Tepat konteks,
informasi yang terkait dengan konteks tertentu tidak boleh dilepaskan dari
konteksnya, terlebih ditempatkan pada konteks yang berbeda yang memiliki
kemungkinan pengertian yang berbeda.
f. Memiliki hak,
orang tersebut memiliki hak untuk penyebaran, tidak melanggar hak seperti hak
kekayaan intelektual dan tidak melanggar hak privasi.
2. Cara memastikan
kebenaran dan kemanfaatan informasi merujuk pada ketentuan bagian B angka 3 dan
bagian C angka 2 dalam Fatwa ini.
3. Tidak boleh
menyebarkan informasi yang berisi hoax, gibah, fitnah, namimah, aib, ujaran
kebencian, dan hal-hal lain sejenis yang tidak layak sebar kepada khalayak.
4. Tidak boleh
menyebarkan informasi untuk menutupi kesalahan, membenarkan yang salah dan
menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses,
dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak.
5. Tidak boleh
menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut
diketahui tidak patut untuk disebarkan ke ranah publik, seperti ciuman suami
istri dan pose foto tanpa menutup aurat.
6. Setiap orang
yang memperoleh informasi tentang aib, kesalahan, dan/atau hal yang tidak
disukai oleh orang lain tidak boleh menyebarkannya kepada khalayak, meski
dengan alasan tabayun.
7. Setiap orang
yang mengetahui adanya penyebaran informasi tentang aib, kesalahan, dan atau
hal yang tidak disukai oleh orang lain harus melakukan pencegahan.
8. Pencegahan
sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dengan cara mengingatkan penyebar secara
tertutup, menghapus informasi, serta mengingkari tindakan yang tidak benar
tersebut.
9. Orang yang
bersalah telah menyebarkan informasi hoax, gibah, fitnah, namimah, aib, ujaran
kebencian, dan hal-hal lain sejenis kepada khalayak, baik sengaja atau tidak
tahu, harus bertobat dengan meminta maupun kepada Allah (istighfar) serta; (i)
meminta maaf kepada pihak yang dirugikan (ii) menyesali perbuatannya; (iii) dan
komitmen tidak akan mengulangi.
Keempat: Rekomendasi
1. Pemerintah dan
DPR RI perlu merumuskan peraturan perundang-undangan untuk mencegah konten
informasi yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan, semangat
persatuan dan nilai luhur kemanusiaan.
2. Masyarakat dan
pemangku kebijakan harus memastikan bahwa perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi didayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan.
3. Pemerintah
perlu meningkatkan upaya mengedukasi masyarakat untuk membangun literasi
penggunaan media digital, khususnya media sosial dan membangun kesadaran serta
tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat berperadaban (mutamaddin).
4. Para ulama dan
tokoh agama harus terus menyosialisasikan penggunaan media sosial secara
bertanggung jawab dengan mendorong pemanfaatannya untuk kemaslahatan umat dan
mencegah mafsadat yang ditimbulkan.
5. Masyarakat
perlu terlibat secara lebih luas dalam memanfaatkan media sosial untuk
kemaslahatan umum.
6. Pemerintah
perlu memberikan teladan untuk menyampaikan informasi yang benar, bermanfaat,
dan jujur kepada masyarakat agar melahirkan kepercayaan dari publik.
Kelima: Ketentuan
Penutup
1. Fatwa ini mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata
dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap
muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, mengimbau semua
pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di:
Jakarta
Pada tanggal: 16
Sya’ban 1438 H
13 Mei 2017
MAJELIS ULAMA
INDONESIA
KOMISI FATWA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar